Pages

Tuesday, February 18, 2014

Alien Menara Air

Malam, gelap, dingin, sunyi, terabaikan. Dan untuk pertama kalinya saya mencoba untuk menulis sedikit lebih panjang dari biasanya. 


Entah ini kali ke berapa saya terbangun sekitar jam segini karena adanya pekikan-pekikan kecil, tertahan lirih tapi memanggil. Tapi inilah kali pertamanya saya dengan kebulatan tekad dan semangat proklamasi-revolusi-reformasi-kremasi memberanikan diri untuk mengetahui lebih lanjut tentang asal suara aneh tersebut. Mengisi sebuah tanda tanya yang selama ini mengganggu sebuah rasa yang menjadi sifat dasar manusia dalam diri saya, rasa penasaran. Sejenis kebutuhan primer yang tidak tercantum dalam pelajaran SD manapun, yang biasanya jajaran guru-guru hanya menyampaikan tentang pangan, sandang dan papan.  Padahal secara kata, penasaran juga berakhiran –an.

Langkah pertama dalam kancah per-eksplorasi-an, yang sudah menjadi standar operasi dan prosedur sejak jaman purbakala, Colombus hingga Ben Fogle, adalah mempersenjatai diri. Sebuah golok tebas dengan panjang 35cm, yang layaknya slogan Liputan 6, tajam terpercaya. Terbuat dari campuran besi, nikel, sedikit tambahan seng serta bahan pendukung lainnya plus cat berwarna hitam gelap yang diyakini produsennya mempunyai kemampuan untuk memberikan tendensi awal kepada lawan si pemegang golok. Oke, tangan kanan diberikan kepercayaan penuh. Sebuah senter led mungil dikalungkan.

Konsentrasi, konsentrasi, hening... “Ak...” Seketika bulu dikudukpun merinding, mencuat menjauhi kulit layaknya sebuah roket mau terbang landas. Sepertinya asal suara itu dari bagian samping rumah. Dengan langkah kecil yang penuh kehati-hatian yang hanya melibatkan jari-jari kaki serta bantalan kaki terdepan alias njinjit, saya menuju pintu depan. Entah atas pengaruh proses kimia apa yang sedang terjadi dalam otak saya, proses mengakses pintu depan yang biasanya hanya memakan waktu dalam hitungan detik, kali ini terasa seperti layaknya menunggu tetesan air gutasi dari ujung daun di pagi hari yang lembab ala hutan tropis, atau lebih ekstrimnya seperti pertambahan panjang dari stalagtit hingga menjadi stalagmit. Atau untuk anda yang raport biologi dan geologinya rendah, maksudnya adalah sangat dan teramat lambat.

Tiga grendel plus satu kunci sudah dibuka, masih dalam satuan waktu gutasi-stalagtit dan pintu dibuka. “Ak...” terdengar lagi... Si bulu kuduk kini mulai hitungan mundur sebelum terbang landas. Asalnya seperti dari sebelah kiri, dari menara air yang entah kenapa diposisikan diatas septic-tank. Sekejab muncul bayangan sosok-sosok menjijikkan hasil karya imajinasi liar saya hasil kombinasi antara bunyi Ak tertahan dan septic-tank, seperti “Ak..” lalu “Plung..”.

Masih dalam prosedur njinjit saya mencoba mengurangi jarak konservatif dengan sumber suara. Sekalipun secara fisika Usaha adalah Gaya sepanjang Jarak Konservatif, dalam hal ini ada sejenis peningkatan tajam dari besaran Gaya yang saya kerahkan. Mungkin besaran Gaya yang saya kerahkan bisa digambarkan dalam kurva logaritma yang meningkat setiap pangkat sepuluh jarak yang saya tempuh. Sekalipun satu-satunya gaya yang saya lakukan hanyalah berjalan njinjit. Semakin dekat dan semakin dekat.

Tersisa hanya tiga meter ketika akhirnya saya mendapatkan visual nyata dari menara air yang merupakan struktur kayu kelas II berwarna coklat gelap menambah muramnya suasana. Senter dimainkan ke seluruh bagian menara air tanpa tersisa, mulai dari bawah ke puncak menara air. Negatif... Negatif... Hingga akhirnya pendaran senter mencapai titik terpuncak dari struktur menara air. Sekilas tampak sejenis benda kecil sedikit bulat berwarna putih.

Sekarang senter berpindah dari tangan kiri ke mulut, tangan kiri mengambil objek berfisik keras dari atas tanah, saya mengambil batu. Otak mulai bekerja maksimal melakukan serangkaian simulasi-simulasi seandainya memang benar benda itu yang saya cari dan melakukan penyerangan. Mengurangi segala jenis ketidak siapan jika seandainya si benda tersebut melakukan serangan mendadak. Seperti kata Sun Tzu, jangan sampai musuh memiliki The Element of Surprise. Mandat golok kini dipercayakan pada si tangan kiri. Saya mencari sudut yang tepat untuk melakukan penyerangan awal, nimpukin pake batu.

Batu satu melesat dengan kecepatan rendah yang secara sengaja dilakukan, berharap membentuk gerak parabola sehingga tepat mengenai sasaran. “Ak...” pekik yang sama. Batu dua dilayangkan dengan mengubah gaya potensial maksimal otot tangan kanan menjadi gaya kinetik maksimal, yak kali ini melesat pada kecepatan penuh dengan harapan batu menghantam tangki air yang terbuat dari baja stainless sehingga menghasilkan suara keras yang cukup untuk menakuti mengejutkan sampai membuat makhluk putih tersebut hilang keseimbangan dan jatuh. Lalu “TEEEEENG!!!!!” dan “BEG BEG BEG...” Dia menyerang...

Dengan kecepatan yang sangat tidak normal membuang dua batu tersisa, golok berpindah dari tangan kiri ke kanan, senter dari mulut ke tangan kiri. Sempat saya melihat si makhluk putih masih di depan mengambang mendekat dengan kecepatan yang lebih tidak normal, shit.. sepertinya dia terbang. Golok mengambil posisi siap membelah udara ketika tiba-tiba udara tersayat bergerak deras tepat di sebelah kiri kepala saya. Sekilas tampak sebuah makhluk lain berwarna hitam gelap dengan pola terbang yang sama dengan sukses melewati hanya beberapa centimeter di kiri kepala saya. Refleks yang sudah ditempa bertahun-tahun memerintahkan badan saya untuk melompat ke sebelah kanan menghantamkan diri ke tembok luar kamar dan “Petooook...” dan “Petok”

Ternyata makhluk yang selama ini saya takuti adalah sepasang ayam sedang bercumbu diatas menara air. 

No comments:

Post a Comment