Malam, gelap, dingin,
sunyi, terabaikan. Dan untuk pertama kalinya saya mencoba untuk menulis sedikit lebih panjang dari biasanya.
Entah ini kali ke berapa
saya terbangun sekitar jam segini karena adanya pekikan-pekikan kecil, tertahan
lirih tapi memanggil. Tapi inilah kali pertamanya saya dengan kebulatan tekad
dan semangat proklamasi-revolusi-reformasi-kremasi memberanikan diri untuk
mengetahui lebih lanjut tentang asal suara aneh tersebut. Mengisi sebuah tanda
tanya yang selama ini mengganggu sebuah rasa yang menjadi sifat dasar manusia
dalam diri saya, rasa penasaran. Sejenis kebutuhan primer yang tidak tercantum
dalam pelajaran SD manapun, yang biasanya jajaran guru-guru hanya menyampaikan
tentang pangan, sandang dan papan.
Padahal secara kata, penasaran juga berakhiran –an.
Langkah pertama dalam
kancah per-eksplorasi-an, yang sudah menjadi standar operasi dan prosedur sejak
jaman purbakala, Colombus hingga Ben Fogle, adalah mempersenjatai diri. Sebuah
golok tebas dengan panjang 35cm, yang layaknya slogan Liputan 6, tajam
terpercaya. Terbuat dari campuran besi, nikel, sedikit tambahan seng serta
bahan pendukung lainnya plus cat berwarna hitam gelap yang diyakini produsennya
mempunyai kemampuan untuk memberikan tendensi awal kepada lawan si pemegang
golok. Oke, tangan kanan diberikan kepercayaan penuh. Sebuah senter led mungil
dikalungkan.
Konsentrasi, konsentrasi,
hening... “Ak...” Seketika bulu dikudukpun merinding, mencuat menjauhi kulit
layaknya sebuah roket mau terbang landas. Sepertinya asal suara itu dari bagian
samping rumah. Dengan langkah kecil yang penuh kehati-hatian yang hanya
melibatkan jari-jari kaki serta bantalan kaki terdepan alias njinjit, saya
menuju pintu depan. Entah atas pengaruh proses kimia apa yang sedang terjadi
dalam otak saya, proses mengakses pintu depan yang biasanya hanya memakan waktu
dalam hitungan detik, kali ini terasa seperti layaknya menunggu tetesan air
gutasi dari ujung daun di pagi hari yang lembab ala hutan tropis, atau lebih
ekstrimnya seperti pertambahan panjang dari stalagtit hingga menjadi stalagmit.
Atau untuk anda yang raport biologi dan geologinya rendah, maksudnya adalah
sangat dan teramat lambat.
Tiga grendel plus satu
kunci sudah dibuka, masih dalam satuan waktu gutasi-stalagtit dan pintu dibuka.
“Ak...” terdengar lagi... Si bulu kuduk kini mulai hitungan mundur sebelum
terbang landas. Asalnya seperti dari sebelah kiri, dari menara air yang entah
kenapa diposisikan diatas septic-tank. Sekejab muncul bayangan sosok-sosok
menjijikkan hasil karya imajinasi liar saya hasil kombinasi antara bunyi Ak
tertahan dan septic-tank, seperti “Ak..” lalu “Plung..”.
Masih dalam prosedur
njinjit saya mencoba mengurangi jarak konservatif dengan sumber suara.
Sekalipun secara fisika Usaha adalah Gaya sepanjang Jarak Konservatif, dalam
hal ini ada sejenis peningkatan tajam dari besaran Gaya yang saya kerahkan.
Mungkin besaran Gaya yang saya kerahkan bisa digambarkan dalam kurva logaritma
yang meningkat setiap pangkat sepuluh jarak yang saya tempuh. Sekalipun
satu-satunya gaya yang saya lakukan hanyalah berjalan njinjit. Semakin dekat
dan semakin dekat.
Tersisa hanya tiga meter
ketika akhirnya saya mendapatkan visual nyata dari menara air yang merupakan
struktur kayu kelas II berwarna coklat gelap menambah muramnya suasana. Senter
dimainkan ke seluruh bagian menara air tanpa tersisa, mulai dari bawah ke
puncak menara air. Negatif... Negatif... Hingga akhirnya pendaran senter
mencapai titik terpuncak dari struktur menara air. Sekilas tampak sejenis benda
kecil sedikit bulat berwarna putih.
Sekarang senter berpindah
dari tangan kiri ke mulut, tangan kiri mengambil objek berfisik keras dari atas
tanah, saya mengambil batu. Otak mulai bekerja maksimal melakukan serangkaian
simulasi-simulasi seandainya memang benar benda itu yang saya cari dan
melakukan penyerangan. Mengurangi segala jenis ketidak siapan jika seandainya
si benda tersebut melakukan serangan mendadak. Seperti kata Sun Tzu, jangan
sampai musuh memiliki The Element of Surprise. Mandat golok kini dipercayakan
pada si tangan kiri. Saya mencari sudut yang tepat untuk melakukan penyerangan
awal, nimpukin pake batu.
Batu satu melesat dengan
kecepatan rendah yang secara sengaja dilakukan, berharap membentuk gerak
parabola sehingga tepat mengenai sasaran. “Ak...” pekik yang sama. Batu dua
dilayangkan dengan mengubah gaya potensial maksimal otot tangan kanan menjadi
gaya kinetik maksimal, yak kali ini melesat pada kecepatan penuh dengan harapan
batu menghantam tangki air yang terbuat dari baja stainless sehingga
menghasilkan suara keras yang cukup untuk menakuti mengejutkan sampai membuat
makhluk putih tersebut hilang keseimbangan dan jatuh. Lalu “TEEEEENG!!!!!” dan
“BEG BEG BEG...” Dia menyerang...
Dengan kecepatan yang
sangat tidak normal membuang dua batu tersisa, golok berpindah dari tangan kiri
ke kanan, senter dari mulut ke tangan kiri. Sempat saya melihat si makhluk
putih masih di depan mengambang mendekat dengan kecepatan yang lebih tidak
normal, shit.. sepertinya dia terbang. Golok mengambil posisi siap membelah
udara ketika tiba-tiba udara tersayat bergerak deras tepat di sebelah kiri
kepala saya. Sekilas tampak sebuah makhluk lain berwarna hitam gelap dengan
pola terbang yang sama dengan sukses melewati hanya beberapa centimeter di kiri
kepala saya. Refleks yang sudah ditempa bertahun-tahun memerintahkan badan saya
untuk melompat ke sebelah kanan menghantamkan diri ke tembok luar kamar dan
“Petooook...” dan “Petok”
Ternyata makhluk yang
selama ini saya takuti adalah sepasang ayam sedang bercumbu diatas menara air.
No comments:
Post a Comment